Petualangan Girta (Kisah Sahabat Sejati) Bagian 2

Karya: Girta Ayu (SDN 4 Koba)

 

Aqila menarik napas panjang. “Itu bukan Duwi. Itu sesuatu dari gua ini.”

“Tempat ini…. bukan untuk kalian.” Suara itu bergema lagi, kali ini bukan keluar dari mulut Duwi, tapi dari seluruh ruangan gua, seolah batu-batu pun berbicara.

Tiba-tiba Duwi atau makhluk yang di dalamnya berbalik. Ia menatap kami bertiga.

“Aku lelah… jadi tempat kosong,” ucapnya pelan. Kali ini dengan suara Duwi. “Tapi sekarang, aku… utuh. Dia membuatku utuh.”

“Siapa dia?” tanyaku heran.

Mahkluk itu tersenyum. “Yang pertama dan yang terakhir.”

Setelah ucapan itu, langit-langit gua mulai runtuh. Suara retakan, batu jatuh, dan desiran angin panas bergema di lorong. Alfino menarik diriku dan Aqila. “Kita harus pergi!” serunya.

“Tidaak…Pino!” Aqila berdiri tegak menahan Pino. “Kalau kita tinggalkan pergi, apa pun yang di dalam Duwi akan bebas. Dunia di luar gak akan tahan,” sambungnya.

“Apa maksudmu?” tanyaku heran menatap Aqila.

“Harus ada yang menutup segel lagi. Aku…keturunan penjaga segel ini. Aku bisa gantikan dia. Tapi kalian harus kabur.” saran Aqila kepada sahabatnya.

“Aqila…jangan!” seru Alfino panik.

“Aku tahu kau mau punya tubuh yang cukup kuat untuk menahanmu. Ambillah tubuhku lalu lepaskan dia.”

Cahaya putih terang menyilaukan bercampur asap hitam menyelimuti tubuh Aqila dan Duwi. Tampak berputar-putar seperti bayangan yang sedang bergulat tak menentu arah. Perlahan asap hitam itu berangsur-angsur menghilang, hanya tinggal cahaya yang menyelimuti Aqila. Tubuhnya melayang sebentar, lalu ikut menghilang bersama pusaran cahaya di dalam dinding gua yang langsung tertutup seolah tidak pernah ada. Situasi pun berubah tiba-tiba. Untuk sesaat, keheningan menyelimuti. Gua itu tenang kembali. Lalu Duwi jatuh pingsan, dengan tubuh lemas. Badanya terbaring, napasnya berat. Aku dan Alpino segera menghampirinya. Aku menangis, menepuk pipinya mencoba menyadarkannya dari siuman. “Duwi..Bangun Duwi! Ayo kita pulang!”

Dalam keadaan tubuh yang masih lemas akhirnya Duwi kami rangkul berjalan bersama.

Beberapa minggu kemudian

Duwi duduk di bawah pohon, menatap langit. Rambutnya diikat pelan oleh angin. Di tangannya, ia memegang kalung kecil berbatu yang dulunya tergantung di leher Aqila. Aku dan Alfino duduk di dekatnya.

“Dia milih ngorbanin dirinya demi kita. Dan demi dunia.” kata Duwi pelan.

“Dia tahu kita bakal jaga cerita ini. Biar nggak kejadian lagi.” sambutku sambil menggenggam tangannya. (BP)*

 

Tulisan ini merupakan karya peserta Festival Lomba Seni dan Sastra Siswa Nasional (FLS3N) Tahun 2025 Tingkat Kecamatan Koba.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *