Oleh : Suryan Masrin (Guru, Pemerhati Manuskrip Bangka dan Sejarah Lokal )
Wafat
Sebelum istrinya wafat, terlebih dahulu beliau meninggalkan keluarga tercinta tersebut. Ia wafat pada usia + 76 tahun di rumah anaknya bernama Sami’ah di kampung Berang pada hari Selasa sehabis Isya’ tanggal 1 September 1998, dan dimakamkan di kampung Menggarau–Peradong, tidak berjauhan dengan area makam Haji Batin Sulaiman.
Menurut Alikan, yang pernah belajar dengan beliau hingga ia wafat (selama kurang lebih 2 tahun) tinggal di kampung Air Gantang Parittiga. Menurutnya, ia tahu tentang Durahim bin Tahir ini dari orang tua seorang temannya yang bernama Sujir (orang tuanya bernama M Ali bin Jang yang berasal dari kampung Keranji). M Ali bin Jang pernah sama-sama tinggal di Bendul dan pernah belajar kepadanya. Kemudian temannya tersebut pindah dan tinggal di Parittiga. Berita tentang akan wafatnya beliau telah ia ceritakan kepadanya.
Cerita itu berawal dari setahun sebelum ia wafat, kemudian enam hari sebelumnya ia juga menceritakan perihal tersebut semasa ia berguru/belajar kepada Durahim bin Tahir. Ia juga menyebutkan bahwa ia kan wafat pada hari selasa sehabis shalat isya’. Kebenaran dan kesesuaian cerita ini semoga tidak menimbulkan pemahaman yang salah, karena semua itu kembali kepada Allah SWT, wallahu a’lam bis shawab
Berguru Pada Orang Tua
Durahim bin Tahir tidak memiliki guru secara khusus, ini dikarenakan masa hidup beliau tidak semasa lagi dengan tokoh-tokoh penyebar Islam di tanah Bangka. Sebut saja Haji Batin Sulaiman, yang disebut sebagai tokoh penyebar Islam di wilayah sekitaran Simpang Teritip. Ia hanya berguru dan belajar kepada nek akek dan orangtuanya saja, baik dari pihak laki-laki ataupun perempuan.
Dalam hal ini, beliau lebih getol berguru atau belajarnya kepada orangtuanya yang perempuan, yakni ibu. Ini dikarenakan ibunya adalah garis keturunan dari Haji Batin Sulaiman. Artinya, ibunya mewarisi generasi belajar atau berguru dari silsilah ajaran yang dibawa oleh Haji Batin Sulaiman.
Sistem pengajaran orang zaman dahulu tidak seperti halnya sekarang, sistem belajaran dahulu dengan cara si murid mencatat/menyalin sebuah kitab/pelajaran dalam tema atau topik pembahasan tertentu baru kemudian sang guru menjelaskan kepada sang murid tersebut. Metode ini secara kekinian memang tergolong tidak efektif lagi, tetapi dengan metode tersebutlah orang terdahulu banyak berhasil dan memiliki pemahaman yang lebih.
Hal ini disebabkan, pada saat sang murid menulis/menyalin tersebut, maka secara tidak langsung ia juga sambil membaca. Ketika ilmu yang dipelajari dilakukan dengan membaca dan kemudian dituliskan, maka ilmu tersebut lebih melekat. Apalagi setelah itu dijelaskan kembali oleh sang guru, maka bertambahlah pemahaman tersebut.
Selebihnya, untuk pengembangan dan menambah wawasan beliau lakukan sendiri (otodidak) dengan cara membaca dan mendalami kitab-kitab warisan turun temurun dari keturunan Haji Batin Sulaiman tersebut, meskipun hanya beberapa saja yang masih ada.
Selain itu, menurut anaknya yang bernama Ati, pemahaman lainnya tentang agama tersebut berdasarkan yang diceritakan oleh orang tuanya bahwa ‘jika berjodoh, ilmu itu akan datang dengan sendirinya (dalam istilah Islam dikenal dengan ilmu laduni)’. Menurutnya, jika dalam tidur mereka bermimpi tentang sebuah pengetahuan yang baru, saat terbangun ia langsung menuliskan buah daripada mimpi tersebut, tentunya ditulis dengan aksara Arab Melayu. Juga ketika saat dalam sadar-pun, jika ia mendapati pengetahuan yang baru, baik dari hasil membaca dan mempelajari kitab-kitab yang ada ataupun dari pengetahuan lainnya, langsung juga beliau tuliskan dalam buku atau kertas.
Pengembangan pemahaman dan tradisi tulis menulis Arab Melayu tersebut dilakukan bersama rekan sejawat beliau, yang sama sebagai anak keturunan dari Haji Batin Sulaiman. Rekan sejawat beliau tersebut adalah Muhammad Yasir bin Malik bin Wahab bin Haji Batin Sulaiman (dari garis anak laki-laki Haji Batin Sulaiman) dan Muhammad Alimuin bin En (Abdul Mu’en) bin H Aman (menantu Haji Batin Sulaiman). Bersama rekan sejawat inilah beliau bertukar pikiran dan belajar bersama dari kitab-kitab yang ada. Terkadang dalam momen-momen tertentu, mereka belajar sampai dua tiga malam, dan mereka rela terjaga dari tidur sampai larut malam.
Di antara sumber-sumber kitab yang menjadi rujukan dalam belajar tersebut berdasarkan penelusuran penulis adalah kitab yang berkaitan dengan tauhid atau aqidah, salah satunya dari manuskrip kitab Asrar al-Insan karya Syekh Nuruddin ar-Raniri Aceh, kitab manaqib Syekh Muhammad Saman, karya Abdul Samad al-Palimbani, termasuk tulisan dari Haji Sulaiman, dan lainnya.
Untuk corak dan gaya pengamalan ajaran Islam juga mereka mengikuti tarekat Infasiyah Naqsyabandiyah, karena memang tarekat ini juga yang banyak dipakai di beberapa daerah di Bangka, misalnya di Pangkalpinang yang hingga kini masih dijalankan adalah tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Pernyataan ini dapat dilihat juga dalam manuskrip yang berisi tentang risalah turunnya silsilah tareqat infasiyah naqsyabandiyah yang ditulis oleh Haji Sulaiman yang kemudian disalin ulang oleh Durahim bin Tahir.
Selain Naqsyabandiyah, Sammaniyah juga merupakan tarekat yang dipakai dan dijalani serta tersebar hampir diseluruh pulau Bangka. Ini disebabkan karena pengaruh Syekh Abdul Samad al-Palimbani yang telah masuk ke Bangka, yang kebetulan juga Bangka kala itu di bawah kesultanan Palembang, jarak antara Mentok-Bangka dan Palembang sangat dekat. Selain itu, di akhir proses penyebaran Islam di pulau Bangka dilakukan oleh ulama dari Banjar, yakni Syekh Abdurrahman Siddik yang merupakan keturunan dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang merupakan penganut tarekat Sammaniyah.
Untuk melanjutkan ajaran yang dibawa dan disebarkan oleh Haji Batin Sulaiman tersebut, tidak semua anak keturunannya bisa meneruskan. Hal ini hanya bisa dilanjutkan oleh anak keturunannya yang memiliki jiwa dan niat belajar agama yang tinggi serta mendapat berahi (pembacaannya dalam aksen dan logat melayu). Berahi itu seumpama wangsit, artinya untuk melanjutkan tradisi atau pelajaran tersebut harus mendapatkan berahi atau mimpi. Jika tidak berjodoh, maka tidak akan bisa melanjutkannya. Dalam prosesnya, terkadang bila tidak berjodoh maka tidak akan dibuka jalannya.