Penulis : Agus Bachtiar Kurniawan.
(Guru Seni Budaya SMPN 3 Toboali)
Namaku Arya Bagaskara. Sejak kecil teman-temanku memanggiku Abas, dan pada akhirnya nama itulah yang melekat padaku.. Usiaku saat itu 30 tahun. Tujuh tahun sudah aku merantau ke tanah seberang. Selama itu pula beberapa kali aku jatuh cinta pada seorang wanita. Namun kisah yang kurajut selalu berakhir dengan kekecewaan dan berujung perpisahan. Tetapi berbeda untuk kali ini tampaknya angan dan rasaku tak bisa terlepas lagi dari sang pujaan hati.
Nisrina nama gadis itu. Orangtuanya juga perantau di Bangka, sudah hampir 30 tahun lamanya. Ayahnya keturunan China yang menjadi seorang mualaf, sedangkan Ibunya seorang pengusaha butik dan berasal dari Minangkabau. Karena percampuran darah itu, maka tak ayal lagi menghasilkan keturunan yang cantik nan rupawan. Nisrina berkulit putih bersih, hidung mancung, alisnya bagai bulan sabit kembar yang bertengger di atas sepasang mata jernih namun sangat teduh dan menentramkan hati. Tutur kata yang lembut selalu menghiasi bibir indahnya.Tubuh tinggi semampai menambah elok karya Tuhan yang satu ini. Bagiku, dia sungguh sangat sempurna. Selain karena kecantikan fisiknya, aku melihat dan menjadi saksi betapa berbakti dan taatnya Nisrina pada kedua orang tua. Walaupun berasal dari keluarga yang cukup berada dan berkecukupan, namun kesederhanaan berbalut kerendahan hati tampak selalu terpancar dalam perilaku kesehariannya. Itulah yang membuat aku makin terpesona pada Nisrina, juga pada pola kehidupannya. Jauh dalam lubuk hati dan benakku selalu terbayang, suatu saat aku akan bahagia jika hidup bersamanya. Dari kajian-kajian agama yang pernah kuikuti tentang kiat untuk memilih pendamping hidup, dia sangat memenuhi kriteria itu.
“Wahai para pemuda, jika Anda mencari calon istri, carilah seorang wanita sholehah dan berbakti pada kedua orangtuanya. Karena ketaatan pada orang tua, adalah cerminan ketaannya kelak jika sudah menjadi istri Anda”. Begitu kata seorang Ustad saat acara ceramah subuh di sebuah stasiun televisi swasta.
Aku pikir masuk akal juga, karena jika kepada orang tua kandungnya saja tidak berbakti atau durhaka, apalagi pada kita yang sebelumnya bukan siapa-siapanya. Akupun semakin yakin atas pilihanku ini.
Orang tuaku di Jogja pun merestui hubungan ini meskipun beliau berdua belum pernah bertemu secara langsung dengan Nisrina. Melalui Vidio Call dan sambungan telepon, Nisrina sering menghubungi orang tuaku, terutama ibuku. Kalau sudah mengobrol, waktu satu sampai dua jam mereka lalui tanpa terasa. Aku sangat bersyukur karena sudah ada kecocokan antara Ibuku dan gadis pilihanku.
Aku dan Nisrina sama-sama berprofesi sebagai guru. Aku guru di SMP, Nisrina mengajar di SD. Kami sama-sama diangkat menjadi CPNS tahun 2010. Walaupun satu angkatan, kami tidak saling mengenal sebelumnya karena ada ratusan orang saat itu dan kebetulan kita berbeda jenjang dalam mengajar.
Setelah aku menjalin perasaan selama hampir enam bulan dan mendekatkan hubungan dengan orang tuanya, akhir bulan Januari 2017 aku niatkan diri dan bertekad untuk serius melamar sendiri Nisrina pada Bapak dan Ibunya. Melihat kesungguhanku, orang tua Nisrina menerima lamaranku dengan tangan terbuka dan penuh haru. Maklumlah Nisrina adalah anak tunggal. Mereka seakan terancam akan kehilangan buah hati satu-satunya setelah menikah denganku nanti. Tapi aku berusaha sebisa mungkin meyakinkan pada mereka, bahwa semua akan baik-baik saja.
“Kami berdua tidak keberatan Nak Abas, Insha Allah lamaranmu kami terima dengan ikhlas,” kata ayah Nisrina dengan suara yang lembut mencerminkan kebijaksanaan.
“Ibu mohon jaga Nisrina demi kami ya, dia adalah anak kami satu-satunya,” calon Ibu mertuaku dengan logat Minang yang masih cukup kental menimpali dengan penuh harap.
“Pak, Bu, Insha Allah saya akan berusaha menjaga Nisrina dengan sebaik-baiknya. Saya mencintai Nisrina sepenuh hati.” Jawabku meyakinkan keduanya.
Beberapa waktu setelah aku melamar Nisrina, kami bertemu lagi dan berunding untuk menentukan kepastian hari pernikahan. Dan tanggal 14 Februari 2017 akan menjadi hari bersejarah bagiku dan Nisrina kelak. Kabar gembira ini segera ku sampaikan kepada kedua orangtuaku di Jogja. Keputusanku untuk mengakhiri masa lajang menciptakan kebahagiaan bagi Bapak dan Ibuku. Beliau berdua sangat bersemangat karena memang sudah lama menantikan saat-saat bisa menimang cucu. Adikku satu-satunya adalah seorang perempuan berusia 27 tahun, namun sampai saat ini ia masih sendiri dan sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang komposer dan wartawan sebuah majalah musik di Jogja. Inilah yang membuat orang tuaku sangat berharap padaku agar secepatnya bisa memberikan cucu pertamanya.
“Alhamdulillah Le, akhirnya Ibu akan punya menantu dan cucu!” kata Ibuku dengan sangat antusias saat kuberi kabar melalui sambungan telepon seluler.
Saking semangatnya, kedua orang tua dan Adik perempuanku langsung memesan tiket pesawat dari Jogja ke Bangka. Mereka dijadwalkan tiba di Bangka tanggal 8 Februari 2017, tepat seminggu sebelum hari pernikahanku.
Sisa waktu yang sangat singkat ini harus ku pergunakan sebaik mungkin untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar semua bisa selesai sesuai dengan yang direncanakan.
Daftar undangan, desain undangan, dekorasi, dokumentasi, rias pengantin, sewa panggung, hiburan dan catering aku urus dan persiapkan berdua bersama Nisrina. Kami sesama perantau disini, maka tak heran hampir semua hal kita persiapkan sendiri karena sanak saudara jauh berada di luar Bangka. Hanya sahabat-sahabat dekat saja yang dilibatkan. Rasanya memang sangat melelahkan, tapi kujadikan ini bagian dari perjuanganku untuk kebahagian kami berdua.
Minggu pertama bulan Maret persiapan pernikahanku sudah hampir selesai. Aku sangat berharap semua akan berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Sebagian undangan kutitipkan pada rekan kerja dan sahabat terdekat, sebagian lainnya kukirim melalui jasa kurir.
Tanggal 8 Februari 2017 Bapak, Ibu dan adikku sudah datang ke Bangka. Kehadiran mereka membuat aku semakin bersemangat untuk menyambut dan mempersiapkan hari bahagia itu. Berbagai nasihat, petuah tua, pantangan-pantangan, aturan-aturan yang bersumber dari adat dan budaya para leluhur serta saran-saran lainnya aku terima dari orangtuaku dan orang tua Nisrina. Meskipun kurasa kurang praktis dan terkadang tidak masuk logika, namun aku berusaha sebisanya mencoba menuruti semua perkataan mereka sebagai bentuk penghormatanku pada kedua orang tua dan calon mertuaku.
Dua hari sebelum hari pernikahanku, semua kebutuhan dan perlengkapan kurasa sudah mendekati paripurna, tinggal menunggu pelaksanaan saja. 1500 lembar undangan kupastikan sudah tersampaikan pada alamat yang dituju.
“Astaghfirullah Hal Adzim….!” aku terperanjat dan setengah berteriak.
“Ada apa to Bas?” Tanya ibuku sambil tergopoh-gopoh dari dapur menuju ruang tengah menghampiriku dengan raut wajah penuh keheranan.
“Nggak apa-apa kok Bu, saya lupa belum mengirimkan undangan pada Pak Syamsul dan Ibu, beliau berdua orang tua angkat saya Bu. Saat pertama saya menginjakkan kaki di Bangka ini, beliaulah yang memberi tempat menginap, makan dan minum selama saya belum menerima gaji.” Jelasku pada Ibu yang masih menujukkan sisa-sisa keheranan di wajahnya.
‘Oalah…yo wis Le, kalau begitu kamu telpon saja Pak Syamsul, undang secara lisan, sambil minta maaf ke beliau karena nggak bisa menyampaikan undangan secara langsung” kata Ibuku sambil menepuk-nepuk pudakku dengan penuh kasih sayang.
“Nah..itulah masalahnya Bu, sejak pensiun, beliau pindah ke Sungailiat, tempat kelahirannya, dan beberapa bulan ini nomor Hp Pak Syamsul sudah tidak aktif lagi Bu.” Kataku mencoba membagi kerisauan yang ku alami pada Ibu.
“Lha terus karepmu piye Le?” tanya ibuku yang tampak ikut berfikir keras.
“Besok pagi setelah Subuh, saya minta izin untuk pergi mengantar sendiri undangan ke Sungailiat Bu.” Jawabku dengan tekad dan keyakinan penuh.
“Waduh… ora ilok, pantangan itu Le, calon pengantin nggak boleh pergi-pergi jauh. Ojo Le…” cegah Ibuku dengan serius memohon dan tampak sangat khawatir.
“Maaf Bu, terlalu banyak hutang budi saya pada Pak Syamsul, sepertinya lebih afdol kalau Abas sendiri yang mengantar undangannya,” kataku dengan suara lirih tapi pasti.
“Yo wis lah, kamu memang keras kepala kok Le, persis seperti Bapakmu,” pungkas ibuku seolah menyerah dengan kemauan kerasku. Ibuku sangat hafal dengan tabiatku yang satu ini. Keras kepala, ngeyel dan tak kenal kompromi. Bahkan dulu awalnya keinginanku untuk merantau ke luar Jawa sebenarnya juga dihalangi oleh kedua orang tuaku. Namun karena aku bersikukuh, akhirnya mereka mengizinkan walau dengan berat hati.
Malam itu juga ku kirim pesan pada Nisrina melalui WA perihal rencana kepergianku besuk ke Sungailiat.
“Assalamualaikum sayangku…
Abang besuk terpaksa pergi jauh ya…
mengantar undangan untuk orang tua angkatku.” Begitu isi pesanku pada Nisrina.
“Waalaikumusalam Bang, kok mendadak sih, harusnya kemarin-kemarin Bang, waktunya tinggal sehari lho, ” balas Nisrina setengah melarangku.
Komunikasi berlanjut melalui telepon. Aku berusaha menjelaskan pada Nisrina, alasan kenapa aku harus mengantarkan undangan itu. Ku ungkapkan juga betapa berjasa dan berharganya sosok Pak Syamsul dan keluarganya bagiku. Dengan negosiasi yang cukup alot dibumbui sedikit perdebatan, akhirnya Nisrina pun menyerah dan mengikhlaskan kepergianku dengan bermacam syarat. Harus sarapan dulu sebelum berangkat, jangan ngebut, harus hati-hati, harus ini dan itu dan masih banyak sekali syarat lainnya. Kupikir ini melebihi syarat-syarat saat aku melamar menjadi CPNS.
Jam 4 pagi aku bangun. Setelah mandi dan Salat Subuh, aku sarapan seadanya sambil berbincang-bincang dengan kedua orangtuaku. Kue nagasari kesukaanku yang dibuat ibu semalam, ku lahap bersama secangkir teh panas kental dan manis. Nikmat sekali. Nasi goreng ala kampung menyusul mengisi lambungku. Rupanya benar, makanan yang paling enak di dunia adalah makanan yang dibuat oleh Ibu kita.
Setelah dirasa cukup, aku menelepon Nisrina untuk berpamitan. Bapak Ibuku mengantar aku sampai garasi sambil terus berpesan secara bergantian agar berhati-hati di perjalanan. Ku panasi sedan lawas kesayangan sekaligus untuk memastikan kondisi mesin tuanya tidak bermasalah.
Jam 05.00 tepat aku mulai melaju meninggalkan perumahan guru menuju arah jalan provinsi yang menghubungkan antara Toboali, Koba, Pangkalpinang dan Sungaliat. Jalanan masih sangat sepi, hanya bus dan motor pedagang sayur saja yang sesekali berpapasan denganku. Angin pagi semilir membelai ragaku melewati kaca jendela depan mobil yang sengaja kubuka agar dapat ku hirup dengan lebih leluasa. Hem….sejuk, segar dan sangat nikmat sekali rasanya. Oksigen gratis karunia Sang Pencipta meresap masuk memenuhi rongga paru-paru. Luar biasa nikmatnya.
Satu jam lebih perjalanan aku sudah melewati kota Koba, maklum jalan di Bangka luas, halus dan masih cukup lengang dibandingkan dengan di jalan raya di Jawa. Jalan yang lurus dan lebar memicu hasratku untuk memacu laju mobil menjadi lebih kencang dan lebih kencang lagi.Sejenak aku terlena dengan kenyamanan perjalananku. Dari arah depan kulihat sebuah truk merah berukuran besar dengan lampu yang masih menyala melaju cepat semakin ke tengah dan tak terarah seakan ingin merebut jalanku. Mungkin sopir mengantuk atau silau dengan sinar matahari pagi yang muncul dari balik perbukitan. Aku tak sempat lagi menginjak pedal rem untuk menghentikan laju mobil tuaku. Beberapa detik kemudian, bagian bamper depan truk yang kokoh itu menghantam sisi kanan depan mobilku. Braaakkkk…!!! Benturan keras pun tak terhindarkan lagi. Dalam sekejap truk merah itu menabrak aku dan mobilku. Seperti ada yang tercerabut secara paksa keluar dari ragaku melalui ubun-ubun, sakit sekali sampai tak mampu lagi untuk mengeluh atau menjerit. Yang kurasa selanjutnya hanya melayang dikegelapan.
Tak lama kemudian aku merasa berada di luar dimensi sebelumnya. Aku berada di tempat baru, ruangan asing yang belum pernah aku kunjungi. Kulihat mobil dan tubuhku yang masih terhimpit truk. Aku berusaha mendekat dan memeriksa tubuhku, mencoba membuka pintu bagian belakang mobil agar bisa menarik keluar tubuhku. Namun usaha itu sia-sia. Bahkan aku tak bisa menyentuh tubuhku sendiri. Aku dilanda kebingungan yang teramat sangat. Sopir truk dengan mata kemerahan masih berada di dalam kabin dengan kaki terjepit dan tampak menahan sakit dan ketakutan.
Terlihat beberapa kendaraan mulai berhenti memanjang memenuhi ruas jalan. Laju mereka terhalang oleh truk dan sedanku yang melintang memenuhi ruas jalan dari kedua arah. Beberapa pengendara mobil turun dan mendekatiku setengah berlari, sebagian memeriksa tubuhku yang berlumuran darah. Seorang pria terlihat menghela nafas sambil menatap tubuhku dengan sedih dan penuh keprihatinan. Sebagian dari mereka sibuk menggunakan kamera di Hp untuk mengabadikan kejadian yang menimpaku dengan wajah yang menampakkan ekspresi kengerian.
Beberapa saat kemudian suara sirine polisi dan 2 mobil ambulan beriringan mendekati kerumunan yang semakin padat menumpuk. Tiga orang polisi dengan sigap mengatur dan menggiring mundur orang-orang yang berada di jalanan. Mereka berusaha keras mengurai kemacetan dijalan itu.
Petugas kesehatan di bantu beberapa polisi mencoba mengeluarkan sopir truk. Menggotong dan memasukkannya ke dalam mobil ambulan yang segera bergegas berputar arah menuju Rumah Sakit.
Tubuhku yang sudah tak bergerak dan berlumuran darah juga berusaha dikeluarkan dari mobil sedan yang ringsek sangat parah. Setelah berhasil mengeluarkan tubuhku, mereka menaikkannya ke brankar dan mendorong masuk ke dalam mobil ambulan yang ke 2 dan melaju kencang menuju Rumah Sakit menyusul ambulan yang pertama. Aku hanya bisa mengikuti tubuhku dari belakang dan masih tak mengerti apa yang terjadi padaku. Perawat yang mendampingi tubuhku tampak memeriksa denyut nadi dan mencoba mendengarkan suara detak jantungku dengan stetoskopnya. Setelah saling bertatapan sejenak, mereka menutupi seluruh tubuhku dengan kain putih.
Sesampai di RSUD, brankar di tarik keluar dan didorong masuk melalui sisi samping pintu masuk Rumah Sakit. Aku hanya bisa mengikutinya sambil terus mencoba masuk kedalam tubuh yang terbujur itu. Betapa aku sangat terkejut saat petugas ternyata membawaku menuju ruangan paling belakang bangunan yang bertuliskan Pemulasaraan Jenazah. ”Ya Tuhan…apakah aku sudah mati? Oh tidak! Jangan bang…! Aku masih hidup!” teriakku sekuat tenaga mengingatkan para petugas kesehatan yang masih sibuk mengurus tubuhku. Tapi aku sangat heran, mereka tak menjawab apapun. Bahkan mendengarkan teriakkanku pun tidak. Beberapa saat kemudian tubuhku ditinggalkan sendiri. Pintu ruangan ditutup rapat. Keadaan menjadi hening, sepi dan sangat dingin. Aku merenung sambil terus mencoba mengingat-ingat apa yang sudah terjadi. Mencoba membangunkan tubuhku. Tapi semuanya sia-sia.
Lama aku terbelenggu dalam suasana kebingungan, tiba-tiba pintu terbuka. Kulihat 2 petugas Rumah Sakit masuk diikuti beberapa orang dibelakangnya. Nah….kali ini aku kenal siapa yang datang, Nisrina, Ibu, Bapak, Adikku dan kedua calon mertuaku. “Akhirmya aku tak sendiri lagi”. pikirku merasa sedikit lega.
Petugas Rumah Sakit membuka kain yang menutupi mukaku. Dan seketika Nisrina, Ibu, dan Adikku menjerit hampir bersamaan diikuti teriakan bapakku yang terduduk lemas di pojok ruangan. Mereka semua menangis, menjerit dan meratapi tubuhku. “ Innalilahi wa innailaihi rojiun…! teriak Ibuku sambil memeluk tubuhku dan akhirnya tak sadarkan diri . Tak berselang lama Nisrina pun pingsan dipelukan Ibunya.
“Ibu, Nisrina, Dek, aku aku gak kenapa-kenapa kok, aku di sini!” Aku berusaha berbicara untuk menenangkan mereka. Tapi mereka terus menangis dan menjerit. Kupeluk Ibuku dengan erat. Namun lagi-lagi aku merasa ada yang lain, berkali-kali kucoba namun tetap tak berhasil memeluknya. Kuraih tangan Nisrina tapi aku juga gagal menyentuh tangannya. Yang kudapatkan hanya ruang hampa. Aku sangat dekat dengan mereka tetapi seakan berada diruangan tersendiri yang membuat suara dan semua gerakanku tak terdengar dan tak terlihat oleh mereka. Apakah ini yang disebut kematian? Oh..tidak…! Aku masih hidup! Aku berteriak sekuat tenaga tapi seolah-olah hanya aku sendiri yang bisa mendengarnya. Seakan seperti terkurung dalam ruangan kedap suara. “Tuhan…mengapa Engkau pisahkan aku dengan orang-orang yang aku cintai sehari menjelang hari kebahagiaanku?” tanyaku pada Tuhan.
Dan beribu pertanyaanku tak pernah terjawab. Semua penyesalanku sudah tak berarti.
Aku sudah berada di alam yang berbeda dengan calon istriku. Nisrina. (BP)*












