Bekaespedia.com_Malam 6 Februari 1822, di pangkuan Selat Gaspar yang gelap, takdir telah menorehkan duka dengan tinta kelam. Tatkala sebuah kapal layar besar, Tek Sing, yang dikenal sebagai “Bintang Sejati” merentang samudera dari pelabuhan Amoy (Xiamen) di Hokkian menuju Batavia. Kapal itu membawa jiwa, harapan, dan kenangan yang tertambat pada tanah asalnya.
Namun nasib berkata lain, karang-karang duri yang tersembunyi di perut selat itu, bagai rahang naga purba, menggigit keras lambungnya yang gagah. Kayu-kayu keras nan kokoh berderai pecah, mengeluarkan rintihan terakhir yang memilukan, bagaikan tulang-tulang raksasa yang diremukkan oleh gelombang.
Dua ribu jiwa, beserta mimpi-mimpi akan tanah baru dan kehidupan yang lebih cerah, lenyap ditelan gempita ombak yang kejam. Laut yang semula menjadi jalan harapan, berubah seketika menjadi rintihan masal yang dingin dan tak berbelas.
Namun, dari gelombang maut yang menggila itu, secercah keselamatan muncul. Ratusan jiwa, laksana burung laut yang terluka parah, berhasil merangkak ke daratan Pulo Leat yang sunyi.
Mereka terdampar, basah kuyup hingga menggigil kedinginan oleh teror yang baru saja dialami. Air laut yang asin bercampur dengan air mata pahit mengalir di pipi. Rasa syukur atas nyawa yang tersisa berbaur getir dengan penyesalan yang menusuk.
Sebab, dari pantai itu juga, mata mereka menyaksikan pemandangan yang menyayat hati. Di kejauhan, bayangan sebuah kapal besar nan gagah perkasa berlayar, dan perlahan mengangkut saudara-saudara mereka yang terlambat menepi, mereka adalah penumpang yang bertahan sedikit lebih lama di atas puing-puing kapal, menuju keselamatan yang lebih pasti.
Sedangkan, beberapa dari mereka yang terdampar lebih dulu di Pulo Leat hanya bisa memandang dengan hati yang remuk redam. Nasib telah memisahkan mereka dalam sekejap, yang lainnya menuju pelabuhan impian, sedangkan mereka harus terdampar di pulau yang tak dikenal.
Di tengah kerumunan jiwa-jiwa yang lusuh itu, berdiri tegak seorang perempuan muda, Yun Mei. Meski rambutnya kusut tertiup angin laut, pakaiannya compang-camping, dan tubuhnya yang lelah, ia tetap memancarkan ketabahan yang dalam, ia menjadi cahaya kecil bersama keluarganya yang terdampar di tengah reruntuhan harapan.
Sementara langit kelam perlahan bersalin rupa menjadi terang. Namun desir pantai tetap menguratkan luka, membekas sebagai derita yang tak jua reda.
Di pagi harinya, takdir mengalirkan gembul perahu pemuda melayu, Sulung, ke selat yang sama. Ia adalah putra pertama dari keluarga ternama di Desa Kepoh. Perahu nelayan mereka membelah air zamrud Selat Gaspar, mengarah pulang dari Belitung. Tiba-tiba, dari kejauhan mereka menyaksikan pemandangan yang membuat nafasnya tersekat.
Pantai itu penuh sesak oleh manusia-manusia lusuh. Tubuh mereka membungkuk oleh beban yang tak terlihat, pakaian compang-camping melekat di kulit yang tergores karang. Wajah-wajah mereka seperti kanvas yang dilukiskan sengsara.
Suara tangis yang tertahan dan rintihan lemah menggantung di udara, lebih menusuk dari pada aroma laut di pagi hari itu. Pulo Leat, yang biasanya hanya hamparan pasir putih dan pepohonan kelapa, telah berubah menjadi panggung kesengsaraan.
Sulung memerintahkan perahu mereka untuk mendekat perlahan, hatinya terasa berat seperti batu karang. Matanya menyapu kerumunan yang patah arah itu, Sulung melangkah turun dari perahu, kakinya tenggelam dalam pasir lembab Pulo Leat. Hatinya tercekat oleh nestapa yang terpampang nyata.
Bersama para nelayan Desa Kepoh, ia bergegas mengangkat karung-karung yang berisi persediaan air bersih dan penganan sederhana. “Bawa kemari! Cepat!” serunya pada kawan-kawannya, suaranya parau oleh keresahan.
Ia mendekati sekelompok lelaki yang duduk lesu di atas batu karang. “Minumlah, Tuan,” ucap Sulung dalam bahasa Melayu Bangka yang halus, menawarkan tempurung kelapa yang berisikan air jernih.
Mata lelaki itu hanya memandang kosong, tanpa pemahaman, lalu menggeleng pelan. Sebuah dinding yang tak terlihat, dinding bahasa dan rupa yang asing, telah berdiri tegak di antara mereka.
Sulung mencoba lagi pada seorang ibu yang menggigil memeluk anak kecil. “Makanan, Bu,” bisiknya lembut, mengulurkan sebungkus nasi yang berbalut daun pisang. Perempuan itu hanya menarik anaknya lebih erat, pandangannya penuh ketakutan dan kebingungan.
Sungai bisu mengalir deras di antara mereka. Setiap uluran tangan Sulung berbalas dengan gelengan kepala, pandangan menghindar, dan bisik-bisik yang tak dikenal terdengar bak mantra asing di telinganya.
Rasa frustasi mulai menggeliat di dadanya. Ia ingin menolong, tapi bagaimana caranya menembus tembok yang tak terlihat ini?
Ia terus berkeliling, tak kenal lelah. Tubuhnya yang tegap membungkuk memberi minum pada yang kehausan, tangannya yang besar namun lembut menawarkan makanan pada yang kelaparan.
Meski tak satu pun kata yang dimengerti, meski tatapan curiga masih menyertai, ia tak berhenti. Keringat membasahi pelipisnya, bercampur dengan percikan air laut yang asin. Hingga langkahnya membawanya mendekati naungan pohon pandan yang rimbun.
Di situlah, seperti teratai yang tegak meski akarnya terendam lumpur, Yun Mei menyendiri. Ia duduk lesu seperti yang lain. Tubuhnya tegak, meski lelah terpancar jelas dari bahunya yang agak turun.
Sulung pun menghampiri, perlahan. Di tangannya, sebuah tempurung kelapa kecil berisi air bersih, lebih jernih dari yang lain. Napasnya tertahan, ia membungkuk lebih rendah dari ketika ia menghampiri yang lain, sebuah gestur hormat yang naluriah.
“Air,” ucapnya, suaranya lebih lembut dari angin sepoi yang mengusap daun pandan di pantai itu. “Segar. Minumlah.”
Matanya tak lepas dari mata Yun Mei. Ia melihat kelelahan yang dalam di balik ketegaran itu. Yun Mei tak jua menjawab. Pandangannya menatap air dalam tempurung itu, lalu naik perlahan. Jari-jarinya yang ramping dan masih menggigil sedikit menyentuh tepi tempurung yang di pengang Sulung.
Sulung tak menarik tangannya, ia membantu memegang tempurung itu dengan teguh, memberinya sandaran. “Minum,” bisiknya lagi, lebih pelan, seolah takut mengusik momen rapuh ini.
Dan kemudian, keajaiban itu terjadi. Yun Mei menganggut. Hanya satu anggukan kecil, hampir tak terlihat. Tapi itu cukup.
Waktu pun mengalir, membawa segala sesuatu pada takdirnya. Sebagian korban yang selamat dari Pulo leat, termasuk Yun Mei dan keluarganya yang terlunta, menemukan sandaran baru di Desa Kepoh.
Mereka ditempatkan di wilayah pertambangan timah dua, Parit 2. Sepetak tanah di tepian Distrik Toboali, di mana bumi menyimpan kekayaan timah yang luar biasa. Di sanalah mereka mengais harapan baru, menggali logam dari perut bumi yang dingin, jauh dari kenangan karang-karang penghancur Tek Sing.
Parit Dua menjadi daratan asing di tengah keakraban Desa Kepoh. Atap-atap rumah bambu sederhana berdiri, bercampur dengan aroma masakan asing, bawang putih, jahe, dan kedelai, dengan bau tanah dan asap kayu bakar.
Di sinilah Sulung menemukan seribu alasan untuk “Kebetulan” melintas. Pengecakan aktivitas tambang mendadak lebih sering. Bahkan mencari kayu bakar di pinggir hutan pun harus melewati jalur yang membelok di dekat pemukiman baru itu.
Hatinya berdebar kencang setiap kali mendekat. Dan di sana, seringkali di depan rumah kecil berteraskan tanah liat, atau saat ia membantu ibunya menjemur ikan asin di pagar bambu, Yun Mei muncul.
Ia menyapa, “Sulung,” diucapkan dengan aksen yang masih kental, terbata-bata, bagai anak kecil belajar merangkai kata pertama. Namun, di balik kebata-bataannya itu, tersimpan senyum. Senyum malu-malu yang mengembang pelan, seperti kuncup teratai di kolam pagi, menyinari wajahnya yang mulai pulih dari pucat nestapa.
Senyum itu, bagi Sulung, bagaikan oasis di padang gersang rutinitasnya. Sejuk dan menyejukkan, menjadi titik terang yang dinantikan di antara teriknya hari.
Namun, langit cerah di atas Parit Dua itu cepat tertutup awan hitam yang tebal dan mengancam. Kabar kedekatan Sulung, putra kesayangan keluarga terpandang Kepoh, dengan gadis pendatang dari negeri seberang itu, mulai bergulir bak ombak tak diundang.
Keluarga Sulung, yang darahnya mengalir kebanggaan Melayu dan berkedudukan, menentang keras. Sang ayah, tokoh disegani, kerut dahinya dalam saat mendengarnya. Sang ibu, penjaga adat yang ketat, matanya menyipit penuh kecurigaan.
“Dia bukan dari bangsa kita, Sulung,” bisik ibunya disuatu malam, suaranya dingin bagai pisau. “Bahasanya saja tak kau pahami sepenuhnya. Adatnya? Agamanya? Bagaimana kau akan bahagia?”
Perbedaan budaya terbentang bagai jurang lebar yang dalam. Yun Mei yang masih asing dengan pantun, tepung tawar, dengan seluk-beluk adat resam Melayu Bangka yang rumit. Begitu juga Sulung yang sama sekali tak mengerti makna sembahyang leluhur, asap hio yang mengepul, atau makna warna merah dalam perayaan. Mereka berdua bak kapal yang berlayar di samudera berbeda, dengan peta dan bintang penunjuk yang tak sama.
Bisik-bisik miring pun mulai berhembus. Dari mulut ke mulut warga di pinggir sumur, hingga di sela-sela menambang timah. Pandangan sinis mengikuti setiap langkah Sulung yang mendekati Parit Dua. Tatapan dingin, gelengan kepala penuh makna, dan gumam yang sengaja dikeraskan menghiasi hari-hari mereka.
Parit Dua yang semula hanya tempat asing, kini menjadi pusat desas-desus yang menusuk. Oasis cinta kecil mereka dikepung oleh gurun kesalahpahaman dan adat yang kaku.
Beberapa tahun berlalu, bagai roda pedati yang mengerus jalan tanah di Parit Dua. Bara ketegangan yang dipendam dalam diam di bawah permukaan kesopanan dan tatapan menghindar, akhirnya muncul.
Sebuah insiden kecil, bak percikan api di tumpukan sekam kering, sebatas salah paham tentang harga timah, dan adu mulut antara pemuda Melayu dengan pemuda Tionghoa yang terlalu membela diri, berubah menjadi pemicu yang dahsyat.
Ulah dari segelintir tangan yang panas dan pikiran yang tak terkendali meledakkan bentrok sengit yang mengejutkan kedua belah pihak.
Di tengah kobaran api kebencian itu, Sulung dan Yun Mei bagai menyaksikan kapal karam untuk kedua kalinya. Mereka terhempas jauh lebih dalam dari karang di Selat Gaspar.
Pandangan mereka sempat bertaut, sejenak. Mereka terpisah bukan hanya oleh kerumunan yang saling mengamuk, tapi oleh jurang keyakinan yang tiba-tiba menganga lebar. Benih cinta di Parit Dua yang baru mulai merambat, kini dilindas habis oleh kebencian.
Pasca bentrok yang memilukan, untuk menghindari konflik yang kian memanas dan mungkin akan terjadi lagi, para tetua Tionghoa Parit Dua mengambil keputusan berat, mereka harus pergi. Mencari tempat baru, jauh dari sumber pertikaian.
Dengan hati bagai tergenggam duri, Yun Mei mengikuti keluarganya. Ia melangkah meninggalkan gubuk kecilnya, meninggalkan setiap sudut di mana senyum Sulung pernah menghangatkannya, meninggalkan tanah di mana benih cinta pertama ditanam.
Pandangan terakhir ke Desa Kepoh dipenuhi kabut air mata yang tak tertahan. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak, menjauh dari desa, menuju timur, mengikuti aliran Sungai di Kaki Bukit Muntai yang sunyi.
Mereka menepi lagi, kali ini di sebuah wilayah tentram di Kaki Bukit Muntai. Di sana, alam masih perkasa. Pepohonan rindang menjulang, akar-akarnya mencengkram tebing bukit. Dengan tekad yang lahir dari keputusasaan dan harapan akan perdamaian, mereka mulai membangun kehidupan baru.
Mereka menyebut tempat baru ini Kepoh Usang, sebuah nama yang menyimpan kerinduan sekaligus ironi pedih, “Kepoh” sebagai kenangan akan tempat yang pernah menampung mereka, “Usang” yang menandakan sesuatu yang telah ditinggalkan, bersama harapan yang mulai luntur.
Seiring waktu berlalu, pengucapan nama tempat itu melunak, Usang perlahan menghilang, berganti dengan bunyi yang lebih ringan “Keposang” desa baru itu tumbuh, mengakar di kaki Bukit Muntai.
Di suatu siang yang sunyi, Sulung menyusuri jalan setapak dan melangkahi Bukit Muntai. Hatinya berdebar, dipandu oleh peta rindu yang terukir di jiwanya. Gemuruh semakin dekat, membelah kesunyian. Dan di sana, tersembunyi di balik tirai pepohonan pakis, Air terjun Bukit Muntai menjulurkan tirai peraknya dari langit-langit tebing batu.
Di tepi kolam jernih yang beriak diterpa curahan air, berdiri Yun Mei. Sinar mentari yang menembus kabut air menangkap siluetnya.
Sulung terpaku sejenak. Kaki Sulung melangkah mendekat. Yun Mei menoleh, saat pandangan mereka bertemu, air mata yang selama ini ditahan mengalir deras, bercampur dengan percikan kabut air terjun yang menyegarkan. Tak ada kata yang terucap, tak perlu, hanya air mata itu adalah sungai yang lebih jujur dari segala bahasa.
Sulung menatap mata Yun Mei, menyelam ke samudera ketabahan di dalamnya. “Biarlah bumi gempar dan langit runtuh,” gema suaranya menembus deru air. “Api dalam kalbu kita lebih terang dari seribu matahari. Perasaan ini akan membakar habis segala bayang-bayang ketakutan.”
Dengan terbata-bata, Yun Mei berusaha berkata-kata. “Kuberani karena kau ada.”
Dengan penuh tekad, Sulung menghadap orang tua Yun Mei di Keposang. Udara tegang menyambutnya. Ayah Yun Mei, seoarang lelaki bijak, menggeleng berat. “Sulung, kami bukan menolakmu, tapi dunia ini begitu keras.” Mata tua itu memandang jauh.
Sulung berlutut, “Bapak, Ibu,” suaranya tegas, “Aku bersumpah akan menjaga Yun Mei. Aku akan menjadi perisainya, sehidup semati.”
Tak disangka, kabar angin telah membisikkan langkah Sulung ke telinga sanak saudaranya di Kepoh. Maka datanglah mereka bersama rombongan keluarga terpandang itu, menyusul dengan wajah masam bak mendung petang.
Pertemuan di pelataran rumah Yun Mei yang sederhana itu seketika berubah keruh oleh amarah. Ayah Sulung, gurat durjanya dalam bak parang terhunus, melontarkan kata-kata pedas bak anak panah beracun.
“Tak tahu adat kau, Sulung!”
Tanpa sepatah kata perundingan, tanpa aba-aba, Sulung dan Yun Mei serempak menundukkan badan. Sikap memohon nan penuh hikmat itu membekukan segala gerak. Pandangan bernyala redup sejenak. Dunia seakan berhenti berputar, terpana oleh keberanian pasangan yang rela merendahkan diri di depan orang tua mereka, serendah-rendahnya demi cinta.
Hujan pun turun, rintik dingin pertama membasahi tengkuk Sulung yang tegang, menetes di pelipis Yun Mei yang berkeringat dingin, membasahi tanah tempat mereka berlutut teguh. Tubuh mereka membeku bak arca kesetiaan yang tetap tegak di tengah guyuran hujan.
“Ibu… Bapak… di tengah geladak langit ini! Jika cinta kami duri yang menusuk kekerabatan, jika ikrar kami noda di kain putih kehormatan. Biarlah petir ini yang akan menyambar kami, biarlah kilat membelah tulang kami, biarlah demam yang menggerogoti nafas! Dan biarlah bumi ini menelan kami hidup-hidup sebagai tumbal kesalahan! Tapi… jika ketulusan ini adalah benang merah takdir yang ditenun, biarlah hujan ini yang akan menjadi air suci! Yang merajut jalan bagi dua jiwa yang hendak menyatu dalam taman abadi! Restuilah kami.. atau saksikanlah kami menjadi abu di pelataran ini, tersiram hujan, tersapu angin!”
Seakan mendengar tantangan itu, petir menyambar-nyambar di kejauhan, membelah awan kelabu dengan kilatan putih menyilaukan. Bunyi gemuruhnya menggentarkan bumi. Tapi Sulung dan Yun Mei tak bergeming. Mereka tetap berlutut, tangan saling menggenggam erat, air hujan dan air mata menyatu di pipi mereka.
Di tepian teras rumah sederhana, mata Ibu Sulung tak lepas dari kedua sosok yang teguh itu. Ia melihat ketulusan yang membara di mata Sulung. Perlahan, air matanya menitik, bukan lagi air mata kemarahan, tapi air mata haru dan pengakuan. Hatinya yang selama ini keras membentengi adat dan kehormatan, luluh.
Ia melangkah keluar, menghampiri dan memeluk anaknya dan Yun Mei yang basah kuyup.
“Cukup, Nak. Cukup, Anakku,” bisiknya, suara gemetar namun keikhlasan. “Bangunlah. Jika langit dan bumi menyaksikan ketulusan kalian, siapalah kami untuk menghalangi?” Ia menoleh pada suaminya dan keluarga besarnya. Pandangan Ibu Sulung yang berwibawa itu mencairkan kebekuan. Perlahan, anggukan persetujuan muncul, satu per satu.
Ayah Yun Mei, menyaksikan tekad baja Sulung dan keikhlasan dari keluarga Melayu itu, akhirnya menghela napas panjang. “Baiklah,” ucapnya, suara berat namun lega. “Jika sudah begini takdirnya… jaga baik-baik putriku, Sulung.”
Restu pun diberikan. Sulung dan Yun Mei pun menikah.
Dalam tradisi Yun Mei, sebuah ‘Yong Jie Tong Xin’ ikatan abadi, dua hati telah menyatu untuk selamanya. Bagi orang Melayu Kepoh, mereka menyebutnya ‘Awet Keturen’ pernikahan yang langgeng hingga ke anak cucu.
Semasa mereka bersama, Sulung menghormati hari-hari besar keluarga Yun Mei dengan khidmat, dan Yun Mei dengan cermat mempelajari keyakinan, tata krama dan adat Melayu suaminya. Cinta mereka yang lahir dari puing-puing kapal karang Tek Sing, menjadi cahaya abadi yang bersinar dari kegelapan sejarah.
TAMAT
Toboali, 26 Juni 2025