TIMAH TIBAN

Bentuk dan Ukuran Timah Tiban

Oleh : DatoAkhmad Elvian, DPMP (Sejarawan dan Budayawan Penerima anugerah Kebudayaan Indonesia)

Tiban atau sejenis pajak berupa potongan Timah yang dibayarkan oleh pribumi Bangka (bankanese) yang sudah menikah setiap tahun seberat 50 kati atau seberat 31,25 kg (satu kati setara dengan 6,25 ons) kepada sultan kesultanan Palembang Darussalam sebagai Tanda Raja. Sebagai balas jasa pembayaran pajak Tiban, sultan memberikan hadiah berupa selembar/sepotong kain kasar berwarna hitam dan Cukin kepada masing-masing penduduk pulau Bangka. Selain itu Sultan juga mengembalikan bagian dari Tiban untuk pembangunan benteng dan pembangunan masjid serta pembangunan gudang gudang Timah di pangkal-pangkal tempat kedudukan demang di pulau Bangka.

Ketentuan tentang Tiban diatur dalam Undang undang Sindang Mardika pada Pasal Empat yaitu: Tiap-tiap orang Bangka yang telah kawin atau yang telah punya mantu, wajib mengeluarkan sepotong Timah Tiban. Tetapi kalau sudah bercerai, Ia bebas pula dan yang perempuan tidak boleh keluar dari tempatnya atau negerinya”. Ketentuan tentang perempuan pribumi Bangka yang sudah bercerai tidak boleh keluar dari kampung atau batin tempat tinggalnya, hal ini dilakukan untuk menjaga kehormatannya dan fitnah yang timbul dan dapat menyebabkan kecideraan bagi dirinya, bagi kampung atau bagi batinnya, sementara bagi laki-laki yang sudah bercerai tidak dikenakan Timah Tiban karena tidak memiliki lagi tanggungan istri dalam kehidupannya.

Tugas pengumpulan Tiban pertama kali dilakukan oleh Menteri Rangga, Datuk Wan TjeUsman atau datuk Adjie yang berkedudukan di Kota Mentok pada masa sultan Mahmud Badaruddin I Jayowikromo yang memerintah Tahun 1724-1757 Masehi, sebagaimana tertulis dalam buku Semaian 2 Carita Bangka, Het Verhaal Van Bangka Tekstuitgave Met Introductie En Addenda, E.P. Wieringa, 1990, Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-azie en Ocianie Rijsuniversiteit te Leiden dijelaskan bahwa: “maka Rangga dikuasakan buat atau kerja parit dan terima Timah dari parit dan Timah Tiban yang orang mesti antarkan di Mentok”.

Pemungutan Tiban kemudian dilanjutkan pada masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adikusumo, masa pemerintahan Tahun 1757-1776, yang dilakukan oleh tumengging Abang Pahang bergelar Tumenggung Dita Menggala. Pada waktu itu didirikanlah pangkal pangkal di pulau Bangka sebagai tempat kedudukan demang yang salah satu tugasnya adalah mengumpulkan tanda raja berupa Timah Tiban seberat 50 kati. Tiban adalah sejenis pajak sebagai tanda raja dalam bentuk barang sedangkan tanda raja dalam bentuk uang disebut dengan Tukon. Untuk Tukon biasanya diberlakukan pada wilayah Sikap dan Kepungutan yang berada di wilayah Uluan Palembang.

Pada masa sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin I Adikusumo (memerintah Tahun 1757-1776 Masehi), penduduk pulau Bangka cukup sejahtera, karena diberikan kebebasan menambang Timah dan wajib menjual Timahnya kepada sultan kesultanan Palembang Darussalam. Sultan menetapkan aturan yang sangat ketat terkait penambangan dan distribusi Timah. Pengelolaan pertimahan menjadi monopoli kesultanan Palembang Darussalam. Sultan akan menghukum mati setiap orang yang melakukan penyelundupan atau menjual Timah di pasaran bebas (harga Timah yang dibeli sultan dari penambang dengan harga jual Timah di pasaran bebas, perbedaannya sangat mencolok, selisihnya hampir separuh harga).

Monopoli perdagangan Timah juga mengikat sultan Palembang untuk merampas Timah hasil selundupan dan menghukum mati penyelundupnya. Untuk mengawasi distribusi perdagangan Timah dan pembayaran pajak Timah Tiban agar tidak terjadi penyimpangan, maka sultan mengangkat jabatan demang dari kaum kerabatnya.

Timah Tiban sebagai tanda raja selanjutnya berkembang menjadi salah satu penghasilan utama bagi kesultanan Palembang Darussalam, di samping sultan Palembang Darussalam memperoleh kekayaan kesultanan dari monopoli penjualan terhadap barang-barang tertentu seperti garam, besi dan pakaian kasar serta dari pajak Tukon (pajak yang dibebankan dari hasil penjualan komoditas pertanian, perkebunan dan hasil-hasil hutan serta pembayaran dilakukan dalam bentuk uang).

Timah Tiban di pulau Bangka menjadi hal yang menarik karena kebijakan menghapuskan Timah Tiban di pulau Bangka dijadikan sebagai alasan utama bagi kedatangan bangsa asing kulit putih, yaitu orang Belanda dan orang Inggris ke pulau Bangka (sebelumnya perusahaan dagang Verenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC memperoleh atau mendapatkan Timah melalui monopoli Timah sultan Palembang Darussalam melalui kontrak yang ditandatangani masa sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago pada Tahun 1710 Masehi).

Untuk menarik simpati rakyat pulau Bangka dan untuk menutupi motif penguasaan ekonomi serta tujuan sesungguhnya yaitu mengeruk kekayaan dari pulau Bangka, bangsa asing kulit putih, bangsa Inggris dan Belanda beralasan, bahwa kedatangannya ke pulau Bangka dalam upaya untuk menghapuskan Timah Tiban yang dalam konteks hukum Eropa dikatakan tidak sesuai dengan rasa keadilan.

Exit mobile version