Oleh: Yanto, S, Pd. I, M, Pd GR ( Guru PAI SMP N 3 Toboali)
Senja di Toboali selalu mempesona. Namun, bagi Maya, senja itu hanyalah pengingat akan luka yang menganga. Ia berdiri di depan Tugu Nanas, ikon kota yang seharusnya melambangkan kemakmuran, tetapi baginya hanya simbol kehancuran. Tunangannya, Rio, meninggal dunia dalam kecelakaan tragis tepat di dekat tugu itu, seminggu sebelum pernikahan mereka.
“…Maya menceritakan semua yang ia rasakan. Ibu Fatimah mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu berkata:”
“Nak, sini mendekat,” Ibu Fatimah menepuk pelan tempat di sebelahnya. Maya menurut, duduk dengan canggung. Apa yang bisa saya harapkan dari orang asing? pikirnya sinis.
“Ibu lihat, mata kamu itu menyimpan lautan duka. Berat ya, Nak?” tanya Ibu Fatimah lembut.
Maya mengangguk, air matanya mulai menetes lagi. Kenapa semua orang selalu bilang begitu? Apa mereka pikir saya tidak tahu kalau saya sedang sedih? batinnya kesal. “Rasanya… seperti separuh jiwa saya hilang, Bu. Rio… dia…”
Ibu Fatimah menggenggam tangan Maya. “Ibu tahu, kehilangan itu sakit sekali. Tapi, dengar ya, Nak. Cinta sejati itu tidak akan pernah mati.”
Maya menatap Ibu Fatimah dengan bingung. Cinta sejati? Omong kosong! Rio sudah pergi, dan saya sendirian. “Maksud Ibu?”
“Cinta Rio padamu itu abadi, Nak. Dia pasti ingin kamu bahagia, melanjutkan hidup. Tapi, ada cinta yang lebih besar lagi, yang tidak akan pernah meninggalkanmu. Cinta Allah.”
Maya terdiam. Cinta Allah? Selama ini ke mana saja Dia? Kenapa Dia baru muncul sekarang, setelah semua yang terjadi? “Tapi, Bu… saya merasa marah sama Allah. Kenapa dia mengambil Rio dari saya?”
Ibu Fatimah menghela napas. “Marah itu boleh, Nak. Manusiawi. Tapi, jangan biarkan amarah itu menguasai hatimu. Allah punya rencana yang lebih indah untukmu. Mungkin, ini cara-Nya untuk mendekatkanmu pada-Nya.”
Mendekatkan diri pada-Nya? Saya bahkan tidak tahu bagaimana caranya, pikir Maya putus asa. “Dekat dengan Allah?” Maya menggeleng. “Saya… saya bukan orang yang baik, Bu. Saya jarang shalat, jarang baca Quran.”
Ibu Fatimah tersenyum. “Tidak ada kata terlambat untuk memulai, Nak. Allah itu Maha Pemaaf, Maha Penyayang. Coba saja datang ke masjid, ikut kegiatan yang ada. Siapa tahu, di sana kamu bisa menemukan kedamaian.”
Kedamaian? Apa mungkin saya bisa merasakan kedamaian lagi? Maya ragu. “Saya… malu, Bu. Saya tidak tahu apa-apa tentang agama.”
“Jangan malu, Nak. Di sini, kita semua belajar bersama. Ibu akan bantu kamu. Kita mulai dari hal-hal kecil. Yang penting, ada niat dari hati.”
Ibu Fatimah mengusap air mata Maya. “Ingat ya, Nak. Kamu tidak sendiri. Allah selalu ada bersamamu. Dan Ibu juga ada di sini, siap mendengarkanmu kapan saja.”
Maya menatap Ibu Fatimah dengan mata berkaca-kaca. Mungkin… mungkin ada benarnya kata Ibu ini. Mungkin, saya harus mencoba. Ada setitik harapan yang mulai tumbuh di hatinya. Mungkin, di Masjid Al-Furqan ia bisa menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.










