Oleh : Marhaen Wijayanto
Akibat membully kawannya, si Gagah kini ditinggal sendirian di tangah hutan ketika tidur. Kawannya marah karena ia adalah anak yang suka mengejek nama orang tua. Itu bukan bahan lelucon, tapi penghinaan. Higga akhirnya kini si Gagah tak tahu jalan pulang.
Akar-akar dari bawah tanah mencengkram kaki Gagah dan mengejar Rara yang terbang. Gagah terseret ke arah barat, di sana lokasi puing kecelakaan pesawat itu. Di pepohonan besar memang ada bangkai pesawat. Akar-akar itu sudah berubah menjadi tangan gaib. Sementara Rara masih terbang menghindari kejaran cengkraman akar itu.
Malam turun cepat di Hutan Serindang. Kabut tebal menutup pepohonan, membuat udara terasa dingin dan lembap. Hutan itu terkenal angker tak ada hewan yang berani melintas ketika bulan purnama muncul, karena katanya ada sesuatu yang bernafas di balik kabut.
Gagah berjalan pelan di tepi sungai yang kering. Kakinya masih saja menyusuri jalanan rimba yang basah karena musim hujan datang lebih awal.
“Aku hanya ingin mencari daun muda,” gumamnya. “kenapa hutan ini terasa berbeda… sunyi sekali? Tidak ada suara jangkrik. Tidak ada kodok bersahut-sahutan. Hanya desis angin yang seolah berbisik dari balik pepohonan. Suara-suara itu semenjana menjalar-jalar pada ingatan gajah.” Sedari muda ia mencari, di mana kawanannya?
Tiba-tiba, seekor kelelawar berwarna hitam pekat terbang rendah di hadapannya. Matanya merah menyala di antara kabut. Kata para tetua, kelelawar itu membawa arwah hewan yang menjadi gentayangan karena perburuan liar manusia.
“Siapa kau?” tanya Gagah dengan suara berat.
Kelelawar itu menggantung di dahan dan tersenyum aneh. “Aku Kelan, penjaga malam hutan ini. Kau tersesat, Gagah?”
Gagah mengangguk pelan. “Aku hanya mencari jalan keluar.”
Kelan menggeleng perlahan. “Tidak ada pagi di Hutan Serindang. Apalagi untuk prmbbully semacam kamu.”
Kata-kata itu membuat bulu kuduk Gagah berdiri. “Apa maksudmu?”
Kelan tidak menjawab. Ia berbalik dan terbang perlahan ke dalam kegelapan sambil berkata, “Ikuti aku… kalau berani.”
Menurut cerita, Hutan Selindang ini Adalah kutukan. Beberapa puluh tahun yang lalu, pesawat yang ditumpangi kawanan binantang terjatuh. Arwahnya bergentayangan dan membuat hutan ini angker. Jika kamu melangkah ke arah sana (kelan menujuk ke barat) maka kamu akan Kembali lagi ke tempat ini.
“Pembbulluy semacam kamu ini tak akan bisa kembali ke dunia nyata. . .”
Gagah menelan ludah. Ia ragu, tapi hening malam terasa begitu mencekam hingga diam di tempat pun membuatnya gelisah. Ia akhirnya mengikuti sinar merah mata kelelawar itu yang berkelip di antara pepohonan seperti obor kecil.
Di tengah perjalanan, Gagah mendengar suara gemerisik dari semak-semak. Tiba-tiba seekor kupu-kupu berwarna biru keluar, terbang melayang di hadapannya. Sayapnya tampak indah berkilau meski malam begitu gelap.
“Aku Rara, penuntun cahaya,” katanya lembut. “Jangan ikuti Kelan. Ia bukan penjaga malam, tapi penjaga arwah.”
“Arwah?” Gagah menatap heran. “Maksudmu… hutan ini dihuni roh?”
Rara mengangguk. “Banyak hewan yang datang ke sini dan tak pernah kembali. Mereka masih berputar di antara kabut, mencari tubuh yang bisa mereka tempati. Belum lagi kecelakaan pesawat berpuluh tahun lalu membuat para korban kecelakaan mencari kawan. Bisa jadi kamu adalah korban berikutnya, Gagah!”
Gagah bergidik. Ia menatap kabut di sekelilingnya yang semakin pekat. Dari kejauhan terdengar suara langkah berat seperti langkahnya sendiri, tapi dari arah lain.
“Cepat ikut aku!” bisik Rara.
“Ada tempat aman di balik pohon beringin tua.”
Tapi sebelum Gagah sempat melangkah, suara tawa lirih menggema di udara. Kelan muncul kembali, menggantung di atas kepala mereka. Bayangan hitam besar muncul dari balik pohon, matanya memerah, semakin Gagah memandang, maka bayangan itu semakin membesar. Dari mulutnya muncul taring menyeringai.
Akar-akar dari bawah tanah mencengkram kaki Gagah dan mengejar Rara yang terbang. Gagah terseret ke arah barat, di sana lokasi puing kecelakaan pesawat itu. Di pepohonan besar memang ada bangkai pesawat. Akar-akar itu sudah berubah menjadi tangan gaib. Sementara Rara masih terbang menghindari kejaran cengkraman akar itu.
“Tidak ada tempat aman di hutan ini, Rara si kupu-kupu. Kau lupa siapa yang memintamu tinggal di sini?”
Kupu-kupu itu bergetar ketakutan. “Aku tidak ingin ikut lagi dalam permainanmu, Kelan!”
Kelan si kelelawar adalah pengendali arwah di hutan itu. Ia bisa mendatangkan arwah penasaran binatang yang mengalami kecelakaan pesawat. Dia juga bisa menolak hantu para binatang itu agar tak lagi memakan korban.
Kelan tertawa keras hingga daun-daun berjatuhan. “Kau sudah terikat janji, sayap lembut. Tanpa aku, kau takkan bisa keluar dari malam ini,” ujar Kelan pada kupu-kupu.
Gagah menatap mereka bergantian. “Apa yang sebenarnya terjadi di hutan ini? Kecelakaan pesawat? Roh jahat?”
Rara menatap Gagah dengan mata sendu. Meski badannya besar, ia tak berdaya menghadapi makhluk kasat mata di hutan itu. Sedari lahir, ia tak pernah diajari untuk melawan hantu.
“Dulu… kami semua penghuni hutan yang damai. Tapi Kelan, kelelawar pemakan malam, membuat perjanjian dengan roh gelap dari bawah tanah. Ia ingin kekuatan untuk melihat di kegelapan, tapi harus menukar jiwa makhluk lain agar malam tetap hidup. Para korban kecelakaan Adalah tumbal kesaktian kelelawar Kelan!”
Kelan menyeringai. “Dan malam tidak pernah mati, bukan?”
Kabut semakin pekat. Gagah mulai sulit bernapas. Suara-suara aneh terdengar dari segala arah derap langkah, desir angin, bahkan suara gajah lain yang memanggil namanya dari kejauhan.
“Gagah… pulanglah…!”
Ia menoleh, tapi tak ada siapa pun. Bayangan besar melintas di antara pepohonan. Ia tahu itu bukan dirinya. Gagah mengangkat belalainya dan mengeluarkan terompet keras. Tapi suaranya menggema aneh seperti disambut oleh gema lain, lebih berat, lebih tua, lebih menyeramkan.
Dari balik kabut, muncul sosok gajah hitam legam, matanya kosong, tubuhnya berlendir. Ia melangkah lambat, tapi tanah bergetar setiap kali kakinya menginjak bumi.
“Itu aku…!” bisik Gagah dengan suara bergetar. “Tapi kenapa aku ada dua?”
“Itu tubuhmu yang akan diambil,” jawab Kelan sambil tertawa melengking. “Bayanganmu sudah kupanggil. Begitu ia menyatu denganmu, kau akan jadi bagian dari malam untuk selamanya.”
Rara berteriak, “Jangan biarkan dia mendekat! Kau harus menuju beringin tua di ujung sungai, cepat!”
Gagah berlari sekuat tenaga, menginjak dedaunan yang mengeluarkan suara bercampur air karena selepas hujan. Tapi bayangan itu semakin dekat. Dari langit, Kelan terbang mengitari kepalanya sambil tertawa seperti lonceng rusak.
“Tak ada yang bisa lari dari malam! Gajah pembbully harus mati, arwahnya harus diambil!”
Rara terbang di depan Gagah, memancarkan cahaya biru dari sayapnya. Cahaya itu membuat kabut sedikit menipis. Di kejauhan tampak sebuah pohon beringin besar berdiri dengan akar menjuntai seperti tirai raksasa.
“Masuk ke dalam akar itu!” seru Rara.
Begitu mereka mendekat, Gagah melihat cahaya samar dari lubang di bawah pohon. Ia segera melangkah masuk. Kelan mencoba mengikutinya, tapi begitu melewati akar, sayapnya terbakar oleh sinar biru. Ia menjerit marah.
“Aku akan kembali, Gagah! Tidak ada yang lolos dari malamku!”
“Kau aman di sini,” katanya lirih. “Pohon ini tempat roh-roh baik bersemayam. Selama kau di sini, malam tak bisa menyentuhmu.”
Gagah menarik napas lega, tapi tiba-tiba suara rendah terdengar dari dalam tanah. Seperti suara napas berat yang datang dari bawah akar.
“Ada… sesuatu di sini?” tanya Gagah waspada.
Rara terdiam. Wajahnya tampak sedih. “Itulah harga dari perlindungan ini. Aku terikat dengan pohon ini. Aku tidak bisa keluar… selamanya.”
Gagah menatapnya iba. “Aku tak akan meninggalkanmu di sini.”
Namun sebelum ia bisa melanjutkan, dari luar terdengar jeritan Kelan, disusul suara sayap besar berkepak. Akar-akar beringin bergetar, dan dari sela-selanya muncul tangan-tangan bayangan yang mencoba masuk.
“Dia datang lagi!” teriak Rara. “Cepat keluar, Gagah!”
Gagah memaksakan diri keluar dari akar-akar itu, cahaya bulan menyambutnya. Tapi di hadapannya, sosok Kelan kini berubah mengerikan, sayapnya sobek, matanya merah menyala seperti bara.
“Tak ada tempat untukmu di dunia terang, Gagah!”
Kita harus hati-hati dalam bersikap. Akhirnya si Gagah Kembali ke kawananya. Ia meminta maaf dan berjanji tak akan membully. Gagah dan kawanannya pun kini hidup damai jauh dari hutan Serindang yang angker.
Profil Penulis
Marhaen Wijayanto Adalah penulis novel Mencari Jejak sang Depati, Roman Terlupakan, Kumpulan Puisi Hujan di Awal Desember, dan Kumpulan Cerpen Buku Tanpa Aksara. Saat ini tinggal di Mentok, Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung dan bertugas di SD Negeri 7 Simpang Teritip.










